Sejarah Kerajaan Aceh - SMJ SHARING
Headlines News :
Home » , » Sejarah Kerajaan Aceh

Sejarah Kerajaan Aceh

Written By Syarwan on 17 November 2012 | 20.13

Kerajaan Aceh termasuk salah satu dari kerajaan di Nusantara yang tergolong sebagai kerajaan Islam. Kerajaan ini berdiri pasca keruntuhan kerajaan Samudera Pasai karena ditundukkan oleh Majapahit pada tahun 1360.
Kerajaan Aceh sendiri didirikan pada tahun 1496 oleh Sultan Ali Mughayat Syah. Pada awal berdirinya, wilayah kerajaan Aceh sangatlah luas karena mencakup wilayah hingga Daya, Pedir, Pasai, Deli dan juga Aru. Setelah meninggal pada tahun 1528, putera sulung Ali Mughayat yaitu Salahudin menggantikannya menjadi raja.

Kejayaan Kesultanan Aceh

Puncak keemasan Kerajaan Aceh terjadi pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Pada saat inilah, Kerajaan Aceh mampu memukul mundur pasukan Portugis yang datang dari selat Malaka. Pada waktu itu pula wilayah kekuasaan Aceh sudah meluas hingga wilayah Sumatera, Jawa dan Kalimantan serta sebagian wilayah Melayu.
Pada tahun 1586, pasukan Kerajaan Aceh berusaha memukul pasukan Portugis yang berada di kawasan Malaka. Dengan kekuatan 500 kapal perang serta 60.000 pasukan, mereka berusaha mengepung tentara Portugis. Namun, upaya ini gagal karena Portugis mendapatkan bantuan dari kasultanan Pahang. Gagal pula ambisi kerajaan Aceh untuk menguasi Selat Malaka dan semenanjung Melayu.

Kemunduran Kerajaan Aceh

Kejayaan Kerajaan Aceh mulai memudar sejak meninggalnya Sultan Iskandar Tsani tahu 1641. Ada beberapa hal yang menjadi penyebab kemunduran Kerajaan Aceh tersebut. Salah satunya adanya perebutan kekuasaan di antara pewaris kesultanan Aceh. Hal ini berdampak pada melemahnya rasa persatuan yang terjadi di dalam tubuh kerajaan Aceh.Selain masalah perebutan kekuasaan, makin besarnya kekuatan Belanda di tanah Sumatera turut berperan mengurangi kekuasaan Kerajaan Aceh. Hal ini kemudian dipertegas dengan adanya Perang Aceh yang terjadi pada tahun 1873. Perang tersebut sendiri berlangsung dalam beberapa tahap.

Setelah perang pada tahun 1873 dianggap gagal menangklukan Kerajaan Aceh, Belanda kembali mengobarkan perang pada tahun 1883. Namun usaha ini pun kembali buntu. Dan kemenangan Belanda baru dicapai ketika politik adu domba yang dikemukakan Dr. Christian Souck Hurgronje dijalankan di kawasan Aceh.
Pelan namun pasti Belanda mampu menguasai beberapa wilayah kekuasaan kerajaan Aceh. Puncaknya, ketika pada tahun 1903, sultan Aceh saat itu yakni Sultan Muhammad Daud menyerahkan diri pada Belanda. Hal ini dilakukannya setelah kedua istri, anak dan ibunya ditawan oleh Belanda. Dan pada tahun 1904, kerajaan Aceh pun sudah dinyatakan runtuh dengan ditandai pendudukan Belanda atas Aceh sepenuhnya.

Masa Sultan Iskandar Muda

Masa kerajaan aceh atau yang biasa lebih dikenal dengan Kesultanan Aceh mengalami kemajuan dan kemunduran. Kesultanan Aceh mengalami masa keemasan atau kejayaan pada masa Iskandar Muda. Wilayah Aceh sangat luas hingga penjajah portugis saja berhasil diusir dan tidak bisa masuk ke dalam wilayah Aceh.
Masa Sultan Iskandar Muda adalah masa kejayaan kerajaan atau Kesultanan Aceh. Negeri Acehini amat kaya dan makmur pada waktu Sultan Iskandar Muda memimpin Kesultanan Aceh. Wilayah yang dikuasaianya pun sangat luas. Wilayah tersebut meliputi pesisir barat Minangkabau, Sumatera Timur, hingga Perak di Semenanjung Malaysia.

Tradisi yang dipegang oleh Sultan Iskandar Muda adalah tradisi militer sehingga Aceh menjadi Kesultanan terkuat pada waktu itu. Tidak dapat dipungkiri bahwa Kerajaan atau Kesultanan Aceh adalah negara yang mampu menguasai selat Malaka.
Selat Malaka merupakan wilayah penting perdagangan dunia. Tidak hanya perdagangan nusantara tetapi sudah mencapai tingkat internasional. Dengan menguasainya berarti kedudukan Kesultanan Aceh menjadi sangat menguntungkan.
Pada saat kepemimpinan Sultan Iskandar Muda, beliau menikah dengan seorang putri yang berasal dari Kesultanan Pahang. Saat ini, Kesultanan Pahang merupakan negara bagian yang masuk ke dalam wilayah negara Malaysia.

Putri yang berasal dari Kesultanan Pahang tersebut bernama Putroe Phang. Dikabarkan bahwa Sultan Iskandar Muda sangat mencintai istrinya tersebut. Cinta yang terlalu dalam tersebut mampu membuat seorang lelaki berbuat apa saja untuk menyenangkan wanita yang dicintainya tersebut.Sultan Iskandar Muda membangunkan sebuah taman yang menyerupai kampung halaman sang putri. Semua itu dilakukan oleh Sultan Iskandar Muda agar sang Putri tidak terlalu rindu akan kampung halamannya. Hingga sekarang taman itu masih bisa dikunjungi yang merupakan saksi sejarah percintaan dua insan manusia.

Hubungan Diplomatis Kesultanan Aceh.

Melihat diplomasi yang dilakukan oleh Kesultanan Aceh maka bisa dilihat bahwa Kesultanan Aceh bukanlah kerajaan yang kecil. Kesultanan aceh telah banyak melakukan diplomasi ke beberapa negara besar waktu itu. Berikut adalah diplomasi yang dibangun oleh Kesultanan Aceh pada waktu itu.

Diplomasi dengan Inggris
Pada abad ke-16 Kesultanan Aceh telah melakukan hubungan diplomatis dengan Kerajaan Inggris. Pada waktu itu, Ratu Elizabeth I selaku Ratu Inggris mengirimkan seseorang yang bernama Sir Jame Lancester ke Kesultanan Aceh sebagai utusan dari Kerajaan Inggris.
Sir Jame Lancester membawa seperangkat perhiasan yang tinggi nilainya untuk diberikan kepada Raja Aceh Darussalam. Sebagai balasannya, Sultan Aceh memberikan izin bagi kapal Inggris untuk berlabuh dan berdagang di wilayah Aceh.
Selain itu, Sultan Aceh juga memberikan beberapa hadiah berupa gelang emas dari batu rubi dan surat yang ditulis dengan tinta emas. Sultan Aceh menganugerahi Sir James dengan gelar Orang Kaya Putih.
Hubungan diplomasi antara Kesultanan Aceh dengan Kerajaan Inggris berjalan dan berlanjut hingga masa pemerintahan Raja James I. Sebagai hadiah kepada Sultan Aceh, Raja James mengirimkan sebuah meriam. Sekarang meriam itu dikenal dengan nama meriam Raja James.

Diplomasi dengan Belanda
Selain hubungan diplomasi yang sudah terjalin erat dengan Inggris, Kesultanan Aceh juga menjalin hubungan dengan Belanda. Waktu itu Pangeran Maurit mengirimkan surat untuk meminta bantuan dari kesultanan Aceh. Permintaan tolong tersebut disambut dengan baik oleh Sultan.
Kemudian sultan mengirimkan utusannya untuk pergi ke Belanda. Pemimpin rombongan dari sultan tersebut bernama Tuanku Abdul Hamid. Rombongan ini adalah rombongan pertama dari Indonesia yang pernah menjejakan kaki pertama di Belanda.

Kunjungan ini adalah kunjungan pertama dan terakhir bagi Tuanku Abdul Hamid. Beliau meninggal setibanya di Negeri Belanda karena sakit yang dideritanya. Prosesi pemakamannya dilakukan secara besar-besaran oleh kerajaan Belanda.
Tidak hanya besar, namun juga dihadiri oleh para petinggi dari Kerajaan Belanda. Pemakaman beliau dilaksanakan secara nasrani. Hal tersebut dilakukan oleh pemerintah Belanda karena Kerajaan Belanda belum pernah melakukan pemakaman secara Islam.
Tidak hanya prosesi pemakaman yang dilakukan secara agama kristen, makamnya pun diletakkan di pekarangan yang ada di gereja. Jika kita bersinggah ke belanda di makam tersebut ada sebuah prasasti yang diresmikan oleh Pangeran Bernhard. Itu merupakan bukti bahwa Tuanku Abdul Hamid pernah singgah dan dimakamkan di Belanda.

Diplomasi dengan Utsmaniyah
Pengiriman utusan dari Kesultanan Aceh ke Sultan Utsmaniyah memiliki cerita yang tidak biasa. Sesampainya utusan Sultan Aceh ke di Istambul Turki mengalami nasib yang kurang baik. Kedatangan mereka tidak langsung mendapatkan sambutan dari Sultan Utsmaniyah. Waktu itu kondisi Sultan ustmaniyah sedang dalam kondisi sakit sehingga tidak bisa langsung menyambut tamu yang sudah datang jauh dari Aceh.
Karena tidak langsung disambut oleh tuan rumah, maka kehidupan utusan dari Aceh tersebut jadi terombang-ambing. Mereka tidak memiliki tempat untuk bernaung dan menikmati makan untuk mengenyangkan perut.
Karena kondisi yang seperti itulah, perbekalan yang sebenarnya digunakan untuk hadiah bagi Sultan Utsmaniyah dijual demi mengganjal perut yang lapar. Ketika waktu tiba menghadap ke Sultan, hadiah yang ada tinggal lada sicupak atau lada sekarung.
Melihat hadiah yang Cuma segitu, tuan rumah tidak marah dan masih menerimanya dengan baik. Sebagai hadiah untuk utusan dari Aceh, tuan rumah menghadiahi sebuah meriam. Meriam itu dinamakan dengan nama meriam lada sicupak karena didapatkan dari lada sicupak. Sampai sekarang meriam tersebut masih ada di  Kecamatan Peureulak.
Diplomasi dengan PerancisKesultanan Aceh memang memiliki kharisma yang luar biasa. Kharisma tersebut sampai mampu membuat Raja Perancis mengirimkan utusan untuk menghadiahi Sultan Aceh. Hadiah yang diberikan tersebut berupa sebuah cermin yang sangat berharga.
Hadiah cermin diberikan sebagai hadiah dari utusan Perancis karena Sultan Aceh dikenal suka dengan barang-barang yang berharga. Namun sayang sebelum sampai di Aceh, cermin tersebut pecah. Sesampainya di Aceh, para utusan dari Perancis tersebut hanya mampu mempersembahkan serpihan kaca sebagai hadiahnya.       
       
   
Share this article :

0 comments:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. SMJ SHARING - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template