Seminar yang diberi kata sambutan oleh Prof. Dr.
Sayyed Ahmad Fazeli, Rektor The Islamic College Jakarta tersebut dibagi
kepada tiga sesi menghadirkan para pembicara yang ahli pada bidangnya
masing masing.
Seminar ini diberi pengantar oleh Dr. Alwi
Shihab. Dalam pengantanya itu Alwi mengatakan baginya diminta memberi
kata pengantar bagi diskusi bertema tasawuf seperti berjualan air di
tengah para penimba air. Maksudnya pengetahuannya tentang tasawuf tidak
lebih baik daripada para pakar tasawuf di tempat itu. Kita tahu bahwa
The Islamic College adalah lembaga pendidikan tinggi yang berfokus pada
pengkajian dan pembelajaran Filsafat dan Tasawuf.
Alwi dalam bukunya "Akar Tasawuf di
Indonesia" memberikan kasifikasi yang kurang tepat terhadap tasawuf .
Lihat saja dia mengatakan tasawuf yang diamalkan Nuruddin Ar-Raniry
adalah Tasawuf 'Sunni' sementara tasawuf yang diamalkan Hamzah Fansury adalah 'Tasawuf Falsafi'.
" Tasawuf Sunni" disebut juga 'Tasawuf Akhlaqi'. Tariqah Alawiyah
diikuti hampir semua para pengukut "Tasawuf Akhliqi". Tariqah Alawiyah
tidak lepas dari pengaruh pemikiran Ibnu Arabi. Klasifikasi-klasifikasi
itu dibuat untuk kemudahan penelitian akademisi dan oleh Syi'i dijadikan
kepentingan penyebaran aliran.
Salah seorang peserta seminar bertanya pada
Dr. Haidar Bagir kenapa "Tasawuf Akhlaqi" lebih populer di Nusantara
daripada "Tasawuf Falsafi". Bagir menjawab karena masyarakat awam
berfikirnya literatis dan praktis. Jadi karena Tasawuf Akhlaqi lebih
mudah mereka pahami, itu yang mereka terima. Pada pernyataan Bagir ini
kita memperoleh penegasan bahwa Tawawuf Falsafi cuma beda level dengan
Tasawuf Akhlaqi. Yang pertama membahas "apa yang sebenarnya" dan yang
kedua membicarakan "apa yang sebenarnya". Jadi, apa yang terlihat tidak
wajar ditengah masyarakat belum tentu sesat.
Kita tahu bahwa ajaran Fansury bertentangan
dengan Raniry. Kita juga tahu bahwa Sunni konfrontasinya dengan syi'i.
Jadi penggolongan ajaran Raniry sebagai Tasawuf Sunni adalah sebagai
penggiringan stigma secara perlahan agar nantinya diharapkan tasawuf
falsafi itu adalah miliknya Syi'ah. Mungkin inilah tujuan
diselenggarakannya seminar yang juga turut merangkul Universitas
Paramadina, Departemen Filsafat Universitas Indonesia dan Penerbit
Mizan.
Prof. Dr. Sir Azyumardi Azra yang mendapat
jatah berbicara pada sesi pertama seminar mengingatkan bahwa Ibnu Arabi
itu jelas-jelas Sunni. Pemikiran Fansury paling besar dipengaruhi
pemikiran Arabi. Dan Kita juga tidak akan berdebat bahwa Fansury adalah
Sunni. Penyebutan 'Tasawuf Falsafi' pada ajaran Fansury adalah karena
ajarannya yang memberi kesan Wahdatul Wujud. Lebih Aneh lagi, RA.
Nicholson mengatakan bila tidak mengikuti konsep Wahdatul Wujud seorang
tidak patut disebut sufi (Alwi Shihab, Akar Tasawuf di Indonesia, Depok: IIMaN, 2009 h.58)
Sementara yang lebih mengherankan adalah
ajaran Raniry yang menentang Wahdatul Wujud dikatakan ajaran Tasawuf
Sunni. Datang kata 'tasawuf' untuk ajaran Ar-Raniry saja "tidak
beralasan". Raniry, Fansury, Syamsuddin dan semua ulama Melayu adalah
Sunni. Pengistilahan dan klasifikasi tak beralasan terlihat sama seperti
strategi Israel dalam mencaplok wilayah Palestina. Lembaga
penyelenggara seminar ingin agar "tasauwuf Falsafi" dianggap ajaran
Syi'ah. Mereka ingin memberik kesan bahwa mazhab tasawuf pertama yang
berkembang di Indonesia adalah Syi''ah punya. Bila strategi ini
berhasil, mereka akan dengan bangga mengatakan bahwa ajaran Islam
mula-mula di Nusantara adalah ajaran Syiah; jadi ikut Syi'ah bagi
masyarakat Nusantara adalah "kembali".
Prof. Dr. Kautsar Azhar Noer sendiri
melihat aspek tasawuuf terbagi menjadi aspek teoritis dan aspek praktis.
Meski demikian, saya melihat kedua aspek tersebut tidak dapat
dipisahkan begitu saja sebab kedua aspek tersebut dijalankan secara
beriringan oleh sufi zaman dahulu. Sufi yang mempunyai kemampuan menulis
akan menuliskan gagasannya, sementara yang tidak mampu tidak menulis.
Jadi yang menulis itulah yang disebut teoritis. Karena itu yang teoritis
pastinya praktis juga. Kalau sekarang sufi sendiri hampir tidak
menulis, yang menulis tentang sufi adalah akademisi atau pengamat sufi
yang tidak menjadi sufi.
Alwi mungatakan, sebagaimana yang
disebutkan Jalaluddin Rumi dan Annemarie Schimmel, pendefenisian
terhadap'tasawuf' adalah mustahil. Atau kalau tasaswuf didefinisikan,
maka bukanlah tasawuf yang abadi, bukan yang sebenarnya. Pendefenisian
terhadap Tao juga begitu. Kata Lao Tzu, Tao yang disefenisikan bukanlah
Tao yang abadi (Fritjof Chapra, The Tao of Physics,
Yogyakarta: Jalasutra, 2009: 20). Uniknya, Tao dan Tariqah dalam
Tasawuf punya arti yang sama: jalan. Tasawuf memang tidak bisa
dipisahkan dengan Hindu, apalagi aliran Wujudiyah.
Orang-orang aliran Wujudiyah sering
mengungkapkan kata-kata yang sama dengan Fir'aun, yaitu mengaku diri
sebagai tuhan. Sufi aliran itu mengakui orang-orang menentang mereka
karena ketidak tahuan. "Kalau saja pembunuhku mengetahui, niscaya mereka
tidak akan melakukannya" kata Hallaj. Biyazid Al-Bistami bahkan berani
mengucap "maha suci aku" sebuah ungkapan yang hanya patut diperuntukkan pada Allah Swt. saja.
Seorang Orientalis bernama Louis Massignon
mencoba memahami maksud dari ucapan para sufi. Dia mengatakan bahwa
bahasa sufi adalah bahasa simbolik, jadi tidak perlu dimaknai secara
verbal.
Pendapat Massingnon dapat diterima
orang-orang yang punya intelengia tinggi, namun tidak oleh awam. Awam
menafsirkan sesuatu apa adanya. Mereka polos. Sementara kebanyakan
intelektual punya kepentingan ternyadap pernyataan-pernyataan di luar
ortodoksi.
Menurut Alwi lagi, Tasawuf Filosofis adalah
upaya mengemukakan intuisi melalui rasio. Namun sayang, semakin intuisi
ini dirasionalisasikan, semakin dianya membingingkan.
Al-Jili melalui kitabnya "Insan Kamil"
berniat menyederhanakan pemikiran Ibnu Arabi. Namun yang terjadi adalah
semakin rumit dan berbelit-belitnya ajaran itu. Sebab bahasa memiliki
keterbatasan dalam mengungkapkan hal-hal diluar batas rasionalitas.
Meski bahasa, adalah sarana terbaik dalam mengkomunikasikan gagasan.
Alwi melihat Raniri hanya mengkritik
Fansury, namun sama-sekali tak menyinggung Ibnu Arabi yang menjadi
sumber gagasan teori Fansury. Saya kira ini wajar, sebab Raniry tidak
punya kepentingan mengkritisi pemikiran Arabi. Kepentingan Raniry adalah
mengusir para pengikut pahan Fansury karena punya keinginan menjadi
Mufti kerajaan Darussalam. Lagi pula Arabi bukan satu-satunya sumber
gagasan Fansury. Pun masyarakat tidak tahu-menahu gagasan Arabi secara
utuh.
Belakangan orang-orang mulai tahu bahwa
kepentingan Raniry adalah politis. Namun masih sedikit orang yang tahu
bahwa akhirnya Raniry kalah debat dengan salah seorang pengikut Fansury
dari Minang Kabau bernama Syaiful Rizal. Karena kalah, Raniry harus
kembali ke negeri asalnya Ranir untuk menimba ilmu lagi. Jadi gagaran
Raniry tidaklah bertahan lama di tanah Melayu.
Direktur Mizan, Dr. Haidar Bagir pada
kesempatan itu menguraikan bagaimana gagasan Arabi masuk ke Nusantara.
Dia menjelaskan Arabi punya murud yang juga anak tirinya bernama
Khunawi. Khunawi adalah anaknya guru Arabi bernama Ishak yang meninggal
dunia lalu istrinya dikawininya.
Kata Bagir, Khunawi suka berkirim surat
dengan Nasruddin Thusi. Dari surat menyurat antara kedua intelektual
inilah bertemunya antara pemikiran Filsafat Peripatetik dengan Tasawuf
Filosofis. Tasawuf Fisosofis sendiri adalah gagasan filosofis yang
dikenbangkan dari pengalaman mistik yang digagas oleh Syihabuddin
Suhrawardi Al-Maqtul. Ide Suhrawardi ini tidak lepas dari pengaruh Imam
Ghazali yang merumuskan kajian Fiqih melalui bahasa filosofis.
Sir Azra mengatakan kontribusi terbesar
Al-Ghazali adalah mengawinkan esoterisme dengan eksoterisme Ialam. Kalau
bukan karena Al-Ghazali yang berhasil menarik kembali pemikiran Tasawuf
Filosofis maka model pemikiran tasawuf Ibnu Arabi, Biyazid Al-Bistami
dan Mansur Al-Hallaj akan menjadi agama tersendiri terpisah dari Islam.
Argumen Azra ini saya kira bukannya tidak beralasan. Meskipun para sufi
itu menjalani tasawuf di dalam syariah, namun warna dan cita ajaran
mereka secara verbal terlepas jauh dari ajaran-ajaran pokok yang
dikemukakan dalam Al-Qur;an dan Hadits. Kalau saja agama Hindu memiliki
seorang Al-Ghazali, saya yakin agama Budha, Kunfusianisme dan Konghucu
tak akan ada.
Bagir mengatakan ajaran Tasawuf dalam Islam
murni dari sumber teks Islam, Al-Qur'an dan Hadits. Padahal Penggagas
Filsafat Illuminasi, Suhrawardi mengaki salah satu sumber inspirasinya
adalah ajaran Zoroaster.
Ronggowarsito adalah sufi kejawen. Namun
keyakinan ini tidak sepenuhnya benar karena alasan dia banyak menimba
ilmu dari Hindu Bali. Gagasan Ronggowarsito yang diakui identik dengan
ajaran Hindu justru adalah bukti sulitnya dibedakan aliran sufi tertentu
dengan ajaran Hindu. Kita harus tahu bahwa ajaran Hindu asli sangat
monoteistik. Jadi kita harus berlapang dada menerima bahwa sila pertama
Pancasila itu asli ajaran Hindu, bukan Islam!
Selain Khunawi, Jili juga sebenarnya
mengikuti paham pemikiran Arabi meski konsep 'Wahdatul Wujud' Arabi dia
ganti dengan Istilah 'Tauhid Wujudi'. Karena penggantian istilah ini,
meski secara keseluruhan pemikiran Jili tidak terlepas dari pemikiran
Arabi, namun dia berhasil lolos dari stigma sebagai sosok kontrofersial.
Pada Abad ke-16, Asy-Sya'rani dari Jazirah
Arab menjadi transformator pemikiran Arabi ke berbagai pelosok Dunia
Islam termasuk Nusantara. Saya yakin pemikiran Arabi telah lama menjadi
bagian dari inspirasi pemikiran intelektual Nusantara. Namun barulah
pemikiran Arabi populer di Nusantara oleh Fansury. Ada pendapat yang
menyatakan Sya'rani adalah salah satu guru Fansury ketika dia menimba
ilmu di Tanah Arab.
Satu lagi Intelektual yang ikut
mempengaruhi gaya pemikiran Ibnu Arabi ke Nusantara yaitu Burhanpuri
Al-Hindi melalui kitabnya yang hingga kini masih populer di kalangan
masyarakat santri tingkat atas yakni "Tuhfah Al-Mursalah Ila Ruh Al-Nabi".
Kitab yang ditulis pada tahun 1590 ini membahas tentang martabat
wujud. Kitab ini awalnya sulit dipahami sehingga para ulama Nusantara
meminta pada kerajaan Utsmani untuk memberi solusi terhadap persoalan
ini. Menanggapi itu, kerajaan Utsmani meminta Ibrahim Al-Qurani menulis
sebuah kitab penjelasan tentang Tuhfah. Kita itu diberi judul Izhab
Addhaqi. Ditulis tahun 1596.
Belakangan juga timbum konflok yang hampir
sama dengan kasus Fansury-Raniry di Aceh. Amran Waly menyusun sebuah
buku tasawuf yang mengikuti jejak pemikiran pantheisme. Buku ini
ditentang Abu Ibrahim Bardan. Menurut Abu Bardan yang populer dengan
sebutan "Abu Pantèn" buku tersebut dapat menyesatkan awam. Beruntung ada
Abuya Prof. Dr. Muhibuddin Waly yang berhasil meredan konflik tersebut.
Peran Muhibuddin dalam mendamaikan konflik ini sama dengan peran Syeikh
Abdurrauf "Syiah Kuala" As-Singkili meredan konflik Hamzah-Raniry.
Di Masa depan Tasawuf Falsafi akan terus
dibutuhkan masyarakat modern karena mereka yang larut dalam hal-hal
praktis, pragmatik dan instan akan melahirkan pertanyaan-pertanyaan
esensial. Agama dan Filsafat terlihat kurang mampu memberi jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan itu. 'Sesuatu' harus mampu memberi jawaban yang
dapat memuaskan pertanyaan mereka. Pertanyaan-pertanyaan itu dapat
dijawab secara ferbali oleh filsafat. Namun karena pertanyaan dimaksud
bukan bermakna literar, maka selalin memberi jawaban juga diperlukan
solusi. Agama yang menawarkan halal-haram, hitam-putih tidak mampu
menghilangkan dahaga manusia modern. Menjalankan agama menurut kaidah
fiqih saja akan hambar. Karena itu di dalam ketaatan pada ajaran fikih,
terdapat sebuah nuansa yang indah bila dirasakan, dinikmati dan
dihayati. Saya kira itulah Tasawuf. Tasawuf, selain mampu memberi
kenikmatan juga harus mampu melahirkan jawaban-jawaban pada
pertanyaan-pertanyaan yang ekstrim dan mendalam yang datang dari
perenunungan terdalam manusia. Di samping ini, rasa yang nikmat dalah
tasawuf juga harus mampu melahirkan pribadi yang memiliki etos
kerjatinggi dan berbudi luhu. Jadi mana mungkin ada dualitas antara
'falsasi' dan 'akhlaki' dalam tasawuf. Keduanya berjalan seiring
sejalan, saling melengkapi. Senyawa!
Tidak ada sufi yang melanggar dari syariat.
Kalau ada, dialah yang disebut pseudo sufi. Sufi jadi-jadian, sufi
bajakan. Prof. Dr. Abdul Hadi WM selalu memperingatkan agar jangan
sekali-kali mempertentangkan antara tasawuf dengan fikih.
Hadi memflash back
bagaimana ulama dahulu paham benar ilmu-ilmu agama juga sangat
menguasai ilmu-ilmu lainnya. "Jabir Ibnu Hayyan di samping ahli Kimia,
ternyata juga seorang ulama tasawuf" katanya. Dia memperingatkan kaum
muslim harus memahami ilmu agama secara utuh dan menyeluruh lalu dia
mempelajari filsafat. "Filsafat melahirkan ilmu-ilmu eksak yang
melahirkan teknologi. Teknologi dibutuhkan untuk memudahkan kita
menjalankan agama". Dia memperingatkan segala macam ilmu yang dipelajari
bila tidak mendekatkan kita pada Allah harus segera ditinggalkan
"apalagi bila menjaukan kita dari Allah".
Pesan Hadi memang sangat tepat. Namun saya
melihat di masa depan kita tidak akan mampu lagi melahirkan muslim yang
beriman sekaligus memiliki keahlian luar biasa di bidang ilmu. Alasannya
adalah cara kita mempelajari agama sekarang sudah sangat berbeda.
Ilmuan muslim dahulu terlebih dahulu
mempelajari dan mengamalkan agama saat usia dini. Setelah amal dan
ilmunya mantap barulah mereka belajar ilmu-ilmu lain. Karena bekal agama
mereka dalam, setiap cabang dan tingkatan ilmu lain mereka pelajari
semakin menambah keimanan mereka.
Husain Herianto pada kesempatan itu
menceritakan astronom masuk Islam karena menemukan ketakjuban pada
pemikiran Arabi di tengah pergelutannya dengan ilmu tentang angkasa itu.
Astronom menemukan jawaban-jawaban yang mengesankan atas
pertanyaan-pertanyaannya mengenai ilmu astronomi.
Generasi muslim hari ini dan akan datang
terlebih dahulu disibukkan ilmu-ilmu eksak. Lalu baru mempelajari agama
sepintas lalu. Sistem pendidikan sekarang memaksakan penguasaan ilmu
eksak dan sama sekali tidak memrioritaskan pembelajaran agama.
Pembelajaran agama sekarangpun dipelajari sebatas diketahui, bukan untuk
diamalkan. Padahal ilmu agama itu dipelajari untuk diamalkan.
Mengamalkannya harus dibiasakan sejak usia dini. Di samping itu,
diperlukan sebuah lingkungan yang mendukung pengamalan itu. Ini semua
tidak dimiliki oleh kita sekarang dan akan datang.
Mengenai kecenderungan akan tasawuf oleh
manusia modern seperti yang sering dikemukakan Haidar Bagir dan Armahedi
Mahzar, ini benar. Tetapi motifnya adalah tasawuf dijadikan pelarian
sementara. Manusia masa depan akan lebih banyak melakukan maksiat
berbarengan mengikuti tarekat tertentu. Fenomena ini tengah menggejala
pada masyarakat kita saat ini terutama mereka yang tinggal di perkotaan.
Dan di masa depan model seperti ini akan mewabah pada seluruh ummat
Islam. Inilah yang di khawatirkan Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer. Dia
menolak pengistilahan 'Sufi Urban' atau 'Tasawuf Kota'. Noer tidak ingin
orang-orang yang kumpul-kumpul bersama, berbaju seragam putih semua,
mendengar cerama, berzikir-zikir lalu menangis berjamaah disebut
kelompok sufi. Fenomena ini sudah populer di perkotaan. Dan saya
mengindikasikan ini adalah zaman fitmah, di mana mereka menangis-nangis
sementara mengingat dosa lalu kembali berbuat dosa. Kalau menganggap
pendapat ini fitnah, maka ajak tiap-tiap "sufi urban" itu merenungkan
pendapat ini.
Hadi membela Fansury yang dituduh pseudo
sufi. Bahkan dia mengatakan Fansury sendiri adalah pengikut tarekat
Qadariyah. Karena itu tidak mungkin ajaran Funsuty melanggar syari'ah.
Katanya kondisi kehidupan Raniry sangat berbeda denga Raniry. Jadi
menurutnya tidak tepat sama sekali mempertentangkan kedua pemikiran
kedua tokoh itu. Fansury adalah filsuf sekaligus penyair. Jadi
alampikirnya tidaklah sama dengan Raniry. Yang bermasalah adalah orang
yang mempertentangkan keduanya. Beda arah, beda tujuan.
Hadi juga tidak sepakat mengatakan tasawuf
itu sama dengan ajaran Hindu. "Hindu wariskan Borobudur, tasawuf
wariskan ilmu" katanya. Parnyataan Hadi tidak sepenuhnya benar seba
Hindu juga mewarikan kebijaksanan yang positif dan Islam juga mewariskan
batu nisan.
Hadi juga sepakat penentangan Raniry atas
Fansury didasarkan kepentingan politis. Dr. Oman Fathurrahman menduga
terjapat rentang waktu yang cukup lama antara fansury denganRaniry.
Karena karya-karya Fansury yang sampai ke tangan Raniry adalah naskah
yang sudah mengalami beberapa kali pengalinan sehingga diindikasikan
menyimpang dari pemikiran Fansury yang sebanarnya.
Dr. Oman Fathurrahman menginformasikan
sebuah berita yang agak mengejutkan. Dia mengatakan di Arab ada sebuah
nisan bertulis nama Hamzah Fansury. Tercatat tahun mangkatnya 1527. Bila
benar itu nisan Hamzah Fansury yang kita maksud, maka gugurlah banyak
teori belakangan yang meyakini makam Fansury adalah di Aceh Singkil.
Bila teori ini benar maka semakin benar pula bukti bahwa durasi waktu
antara Fansury dengan Raniry itu jauh. Bila semakin jauh, semakin tidak
otentik pemikiran Fansury yang sampai ke tangan Raniry karena estafet
penyalinan naskah semakin banyak.
Hadi mengatakan karakter masyarakat Jawa
sukanya pada hal-hal yang mistik, erotik, musik dan sedikit politik.
Karena itu, tarekat sangat tepat sebagai wahana pendidikan karakter bagi
masyarakat tersebut. Instrumen yang digunakan misalnya wayang. "Kalau
Islam model Wahabi yang dibawa, tak akan ada orang Jawa yang masuk
Islam" katanya.
Pembicara lainnya, Agus Sunyoto mengatakan
tasawuf Falsafi mengesankan tasawuf sebagai pemikiran. Padahal Tasawuf
Falsafi itu adalah karya filosofis yang berangkat dari usaha penyampaian
pengalaman mistis melalui uraian filosofis atau syair-syair.
Menurut Sunyoto, tasawuf itu tidak sama
dengan filsafat. Katanya tasawuf itu ilmu rasa. Dianya untuk dirasakan
bukan dipikirkan. Tasawuf itu keheningan, bukan seperti filsafat yang
terus menerus melahirkan kata-kata.
Sunyoto menolak tasawuf dianggap aliran
yang pasif dan hanya memikirkan aspek keduniawian. Dia mengingatkan
bahwa aliran-aliran tarekat di Nusantara adalah lembaga yang
mengorganisir dan melahirkan pasukan untuk melawan kolonialis dari Abad
ke-18 hingga awal abad ke-20.
Sunyoto adalah orang yang punya perspektif
yang sangat berbeda tentang seorang ahli makrifat dari tanah Jawa,
Syeikh Siti Jenar.
Seseorang bertanya pada Jenar tentang makna
puasa. Jenar menjawab puasa itu identik dengan Idul Fitri. Idul fitri
itu itu maknanya fitrah. Fitrah manusia adalah Adam. Fitrah Adam dekat
dengan Tuhan. Karena makan Adam Jatuh. Karena jatuh Adam Jauh dengan
Tuhan. Untuk naik lagi dan dekat dengan Tuhan kita tidak boleh makan.
Setahu kita Jenar dibunuh karena ajarannya
yang sesat. Kepalanya dipenggal. Setelah kepala terpisah dari badan,
darahnya mengalir deras dan menyebar. Kapala yang putus terbang
mengelulungi badan sebanyak tujuh kali. Lalu mulutnya memerintahkan
darah untuk kembali masuk ke badan bila ingin ikut masuk surga. Maka
darahpun kembali ke badan. Demikian kisah tragis kematian Jenar yang
kita tahu. Kita tahu ajarannya ditentang Wali Songo.
Namun menurus Sunyoto kisah di atas tidak
memiliki referensi yang nyata. Cerita di atas menurutnya mitos.
Menurutnya apa yang diajarkan Jenar adalah tauhid yang lurus.
Perseteruan Jenar sebenarnya bukanlah perseteruan dengan Walo Songo
melainkan dengan raja Demak. Dalam filosofi Jawa, raja dianggap sebagai
perwakila Tuhan. Sebab itu rakyat harus memberi penghormatan yang sangat
tinggi pada raja. Penghormatan pada raja laksana perhormatan terhadap
Tuhan ternyata masih diwariskan kerajaan Islam Demak. Hal inilah yang
tidak disepakati Jenar. Menurut Jenar, semua manusia adalah perwakilan
Tuhan. Raja tidak patut diberi penghormatan yang berlebihan karena dia
manusia juga. Karena itulah pihak kerajaan melancarkan fitnah kepada
Jenar dengan mengesankan dia melanggar aturan agama untuk memperoleh
simpati rakyat.
Wali Songo melihat pemikiran Jenar tidak
bertentangan dan bahkan sudah menempuh jalan Islam yang benar. Namun
karena tidak ingin terkesan membenarkan Jenar hingga mereka pula
dianggap subversif, Wali Songo tidak melakukan pembelaan secara
terang-terangan kepada Jenar. Sunyoto mengatakan sebenarnya Jenar
disembunyikan oleh Wali Songo dari ancaman pihak kerajaan.
Husain Herianto pada kesempatan tersebut
mengistilahkan syariah seperti tangan dan kaki. Sementara mata adalah
tasawuf. Maka walaupun anggata badan lainnya ada, tanpa mata, maka tidak
akan bisa mengendarai sebuah tunggangan.
Saya melihat tasawuf itu bisa semakin
popoler adalah karena adanya konflik dengan ahli fiqih. Konflik
terkadang diperlukan untuk memotifasi masing-masing pihak untuk semakin
bangkit. Yang tidak dibenarkan adalah saling mengkafirkan dan saling
menghujat.
Menurut Herianto, masyarakat awam tidak
memerlukan pemikiran karena di lingkungan mereka tidak banyak pilihan.
Pilihan mereka cuma dua, bauk dan buruk. Kalau ingin menjadi baik,
mereka tinggal mengikuti kebaikan-kebaikan yang telah ada berdasarkan
tradisi. Sementara menurutnya pemikiran itu diperlukan di tengah
masyarakat unbar karena di sana ada sangat banyak pilihan kebaikan
(keburukan juga demikian).
Hadi mengatakan sebenarnya syair-syair
Fansury sama-sekali tidak kontrofersial. Semua petikan puisinya
mengajarkan etika-etika kebaikan untuk diamalkan secara praktis.
Syairnya memang demikian adanya. Namun kitab-kitabnya ada yang
mengajarkan unsur pantheistik dan beberapa masih bisa kita temukan
hingga saat ini. Saya kira bisa jadi pula lagi bahwa banyak kitab-kitab
dan karya puisinya yang kontrofersial telah dimusnahkan Raniry.
Syair-syair Fansury yang populer di tengah-tengah kita seperti Syair Perahu (SP), Syair Dagang (SD) dan Syair Burung Pingai (SBP) tidak ditemukan ajaran Wujudiah yang mencolok. Padahal stigma pada penyair Melayu itu adalah ajarannya yang kontrofersial itu. Kalau memang benar demikian, maka benarlah Raniry telah memusnahkan karya-karya Fansury yang berbau Wujudiyah.
Filsafat Aceh Hamzah Fansury
Dalam SP, memang terdapat sebaris bunyi yang agak mengejutkan pada baris terakhir dari penggalan bait berikut ini:
Lailaha Illallah itu kesudahan kata,
tauhid dan ma'rifat semata-mata,
hapuskan hendak sekalian perkara,
hamba dan Tuhan tiada berbeda.
Maksud dari baris keempat kuripan diatas
bukanlah ingin menyamakan Tuhan dengan manusia. Kita semua tahu dan
wajib pecaya bahwa tidak ada yang sama dengan Allah sesuatu apapun.
Maksud tiada berbeda adalah
sesuai Firman Allah dalam sebuah Hadits Qudsi. Di sana Allah
memberitahukan bahwa sesiapa di antara manusia yang bertakwa kepada
Allah, tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun dan menjalankan
segala perintah serta menjauhi sebala larangan Allah, maka Dia menjadi
kakinya ketika berjalan, menjadi lisannya ketika berucap dan menjadi
tangan-Nya ketika berbuat. Ini dimungkinkan karena setiap perkara yang
dilakukan manusia adalah berdasar isi hati melalui fungsi otak.
Dzikir Allah kiri-kanannya
Fikir Allah rupa badannya(SBP)
Karena di dalam hati orang yang beriman hanya ada Allah, maka Allahlah yang menjadi pelaku setiap perbuatan orang yang Lailaha Illallah itu menjadi awal, akhir dan kesudahan kata yang melingkupi hatinya. Di samping itu, tauhid menjadi esensi kehidupannya dan ma'rifat akan Allah melingkupi pikiran semata-mata. Prasyarat
lainnya menjadi manusia yang dimaksud di atas adalah dianya telah
melepaskan diri dari segala kepentingan duniawi. Karena itu, sesiapa
yang ingin termasuk kedalam golongan orang yang disebutkan dalam Hadits
Qudsi tadi, maka dia harus mampu menghapuskan segala kehendak atas segala sekalian perkara yang Allah larang dan tidak suka.Inilah yang dimaksud hamba dan Tuhan tiada berbeda. Bukan dimaksudkan untuk kufur dengan menyamakan Allah dan manusia sama.
Syair sufi memang bahasa simbolik. Jangan
dianya diartikan secara verbal. Jadi apa yang diungkapkan Massingnon dan
Hadi di atas tidaklah keliru.
Di antara syair-syair Fansury yang
"tersisa", Syair perahu adalah karya yang paling populer karena di
dalamnya mengandung pesan yang sangat berguna tentang bagaimana
seharusnya kita memaknai hidup dan menjalankan perintah agama. Syair itu
dinamakan "Syair Perahu" karena di dalamnya diuraikan bagaimana agama
yang mulia ini (Islam) diumpamakan sebagai sebuah perahu yang berguna
mengantarkan untuk mengharungi samudera
kehidupan. Perangkat-perangkat agama seperti syahadat diumpamakan tali
dan tauhid dibaratkan sauh. Dua perangkat yang tidak boleh tidak ada di
dalam sebuah perahu.
Syair Perahu secara keseluruhannya adalah
ajaran tentang aqidah. Syair itu mengajak manusia untuk mempersiapkan
bekal berupa akidah tauhid yang mantap guna mempersiapkan bekal ketika
kelak berada di alam kubur.
Inilah gerangan suatu madah
mengarangkan syair terlalu indah
membetuli jalan tempat berpindah
di sanalah i'tikat diperbetuli sudah. (SP)
Kabar pembuka SP terlalu indah. Ini memang
benar sebuah madah, yaitu syair-syair pujian dan pesan-pesan. Pujian
pada Empunya langit dan bumi dan pada Nabi junjungan. Penyair Arab juga
suka menggubah madah sebagai piji-pujian pada ulama dan penguasa yang
bijak. Pesan-pesannya ditujukan pada handai taulan.
Tema utama SP adalah membetuli jalan tempat berpindah.
Jalan dimaksud adalah menempuh sisa hidup di dunia. Dunia adalah tempat
persinggahan untuk selanjutnya berpindah ke alam barzakh.
Dalam
SP Fansury memperingatkan bahwa selama hidup di dunia, setan dan
keinginan-keinginan yang dapat menjauhkan manusia dari Allah yang
diistilahkan sebagai 'angin' dan 'hiu' selalu membuat aqidah pada Allah
selalu terancam.
banyaklah di sana ikan dan hiu,
menanti perahumu lalu dari situ, (SP)
riaknya riaknya rencam ombaknya besar
annginnya song-song (mem)belok sengkar (SP)
Kalau mengatakan ajaran Fanrury adalah
pseudo sufi, maka itu tampak keliru. Sebab dalam setiap syairnya dia
menganjurkan pentingnya syariat. Dalam pandangan Fansury, syariat adalah
prasyarat mencapat derajat ma'rifat, yaitu ilmu akan pengenalan
langsung pada Allah.
Syrariat akan tirainya
Tariqat akan bidainya
Haqiqqat akan ripainya
Mai'rifat yang wasil akan isainya (SBP)
Dalam pandangan Fansury serta sufi-sufi
lain, derajat ma'rifat adalah derajat tertinggi yang dimiliki seorang
hamba setelah dia berhasil menempuh haqiqat yang didahului pengamalan
syariat Allah sebagaimana dicontohkan Nabi,
syariat Muhammad ambilkan suluh
Ilmu hakikat yogia kau pertumbuh (SD)
serta thariqat yang merupakan jalan
penyucian diri. Fansury memesankan, ilmu hakikat adalah tempat manusia
memperoleh derajat tertinggi.
Ilmu hakikat yogia kau ramu
Supaya terkenal 'ali adamu (SD)
Hanya dengan derajat tertinggi, barulah manusia memiliki derajat ma;rifat yang dengan itu dia dapat menjadi: hamba dan Tuhan tiada berbeda.
Dalam literasi tasawuf yang mengusung
bahasa simbolik, segala kata sering disalah makna. Misalkan kata 'fakir'
diartikan hidup serba kekurangan. Padahal maksud fakir itu selalu
bermaksud untuk melawan segala nafsu dan keinginan yang tiada dapat
mengantar manusia semakin dekat pada Allah.
Kenal dirimu hai anak dagang
jangan lupa akan diri kamu (SD)
Kenal dirimu hai anak dagang!
di balik papan tidur terlentang (SP)
Dalam SD dan syair-syair lainnya, kata
'anak dagang' jangan diartikan makdudnya kepada kata 'dagang' yang kita
pahami dalam bahasa kita sekarang yakni transkasi jual beli. Kata itu
dipakai di Melayu sebagai makna orang yang pergi menuntut ilmu. Bahkan
sampai saat ini di Aceh, 'pergi berdagang' masih dimaksudkan seorang muda pergi menuntut ilmu dan menetap di pondol pesantren atau di Aceh disebut dayah.
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !