Aceh dalam Bahaya - SMJ SHARING
Headlines News :
Home » , » Aceh dalam Bahaya

Aceh dalam Bahaya

Written By Syarwan on 08 Agustus 2015 | 18.27

Aceh menerima Dana Otonomi Khusus (Otsus) sejak 2008 hingga tahun 2027 mendatang. Total penerimaan Otsus hingga tahun 2015 mencapai Rp 42,2 triliun. Namun, dana yang besar itu belum memberikan perubahan signifikan bagi pembangunan Aceh. Bagaimana seharusnya dana ini dikelola? Lima rektor perguruan tinggi negeri (PTN) di Aceh (Unsyiah, UIN Ar-Raniry, Unimal, Unsam, dan UTU) angkat bicara, seperti dirangkum dalam laporan khusus Serambi berikut ini.
SEJUMLAH indikator ekonomi menunjukkan bahwa kondisi Aceh masih kurang mengembirakan. Indikator ekonomi makro tahun 2014 menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan masih di angka 18,05 persen--persentase miskin Maret 2014 menurut BPS. Tingkat pengangguran terbuka 9,02 persen, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) 73,05 yang merupakan nomor dua terendah se-Sumatera. Semua parameter ini juga masih di atas angka rata-rata nasional.
Di lain pihak, Aceh sebetulnya booming uang dibandingkan dengan beberapa provinsi lain. Untuk tahun 2015, misalnya, pagu APBA Aceh Rp 12,3 T, sedangkan Sumut Rp cuma 8,6 T. Namun, menurut data dari Bank Indonesia, output yang dihasilkan Sumut pada tahun 2014 tiga kali lebih banyak dibandingkan Aceh.
Harus visioner
Melihat kondisi Aceh yang tidak banyak membawa perubahan signifikan, Rektor UIN Ar-Raniry, Prof Dr Farid Wadji Ibrahim MA mengatakan,  harus ada reformasi yang menyeluruh di segala sendi kehidupan masyarakat, terutama di level kepemimpinan.
Farid berharap pemimpin di Aceh itu visioner, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Selain itu, mereka tidak boleh berpikir hanya untuk diri sendiri dan kelompoknya saja.
Perencanaan pembangunan Aceh harus pula berjangka panjang. “Pertama, pemimpin itu harus visioner. Seorang pemimpin harus berpikir 5, 10, dan 20 tahun ke depan dan seterusnya. Dia harus berpikir juga habis periode dia bagaimana. Jangan berpikir jangka pendek, hanya untuk 5 tahun. Kalau begini, berarti dia tidak visioner,” kata Farid kepada Serambi, Selasa lalu.
Terkait dana otsus
Terkait Dana Otsus untuk Aceh, kata Rektor UIN Ar-Raniry itu, merupakan sesuatu yang sudah pasti dan bisa diprediksi jumlahnya. Itu sebabnya bisa dibuat perencanaan jauh-jauh hari. “Ini kan uang ‘kasihan’ untuk Aceh. Jatah orang dikasih untuk kita. Kira-kira sebagai kompensasilah,” ucap Farid.

Ketika Dana Otsus dikucurkan tahun 2008, kata Farid, itu semua atas kebaikan pemerintah pusat. Meski berganti kepemimpinan, pusat tetap mengucurkannya sebagaimana diamanahkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Namun, jika kini dana tersebut tidak membawa perubahan signifikan untuk kesejahteraan rakyat, hal itu semua terjadi atas kesalahan Aceh sendiri. Apalagi, pemerintah pusat telah melimpahkan berbagai kewenangan kepada Pemerintah Aceh.  “Kita kan suka menyalahkan orang. Nah, sekarang tidak ada celah lagi untuk menohok orang. Kesalahan kini  pada kita semua. Kalau perilaku kita tidak berubah, maka Aceh dalam bahaya ke depan,” kata Guru Besar UIN Ar-Raniry ini.
Perlu bersinergi
Hal yang senada dikatakan Rektor Universitas Malikussaleh (Unimal), Prof Dr Apridar MSi. Perencanaan pembangunan di Indonesia, termasuk di Aceh, kata Apridar, umumnya tidak berbasis hasil riset. Hal ini juga terjadi dalam penggunaan Dana Otsus di Aceh, sehingga saat proyek pembangunan infrastruktur dilaksanakan dengan Dana Otsus, baik itu jalan, sarana kesehatan, pendidikan dan lainnya, banyak yang telantar dan sia-sia.
“Untuk itu, ke depan perlu perencanaan berbasis hasil riset, sehingga hasil riset inilah yang menyatakan program tertentu itu sangat dibutuhkan masyarakat dan hasilnya bisa dirasakan secara langsung oleh masyarakat,” sebut Prof Apridar menjawab Serambi, Sabtu (1/8).
Menurut Apridar, sudah seharusnya Aceh mengevaluasi sejumlah pembangunan dari sumber Dana Otsus dan menemukan formulasi yang tepat untuk melanjutkan pembangunan dari sumber Dana Otsus tersebut. “Saya sarankan dibuat riset untuk mengevaluasi seluruh program Otsus agar diketahui benar simpul masalahnya dan dicari solusi untuk mengatasi masalah itu,” ujar Prof Apridar.
Selain itu, Apridar mengingatkan, Dana Otsus memiliki rentang waktu yang terbatas, yakni hanya 20 tahun (2007-2027). Maka perlu dibuat skala prioritas. Harus fokus pada bidang-bidang yang mendongkrak efek ekonomi untuk rakyat secara merata di seluruh Aceh.
Di samping itu, Pemerintah Aceh, menurutnya, perlu mengajak seluruh pihak berpartisipasi dalam penyusunan program pembangunan. Evaluasi program tersebut dilakukan secara berkala.
Saat ini, lanjut Apridar, tercatat delapan perguruan tinggi di Aceh siap membantu pemerintah mewujudkan program pembangunan yang bisa dirasakan masyarakat. “Rasanya sangat arif bila pemerintah juga mengajak akademisi dalam menyusun program pembangunan, mengevaluasi program itu, dan lain sebagainya,” kata doktor jebolan Unsyiah ini. (sak/bah) sumber
Share this article :

0 comments:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. SMJ SHARING - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template